Sabtu, 15 Agustus 2009

A CHILD CALLED 'IT'

Penulis : Jack Canfield
Sebuah kisah nyata Dave Pelzer
BAB 1 TERSELAMATKAN
Pada 5 Maret 1973 ,Daly City, California- Aku terlambat. Aku harus menyelesaikan pekerjaan mencuci peralatan makan secepatnya, kalau tidak aku tidak dapat jatah sarapan, dan karena semalam aku tidak makan, jadi sekarang aku harus makan sesuatau. Ibu mondar-mandir sambil berteriak kepada saudara lelakiku. Aku bisa mendengar langkah-langkahnya yang sangat berat menuju dapur. Cepat-cepat aku membilas lagi. Tapi terlambat.Ibu menarikku dengan kasar. Plak! Ibu memukul mukaku, dan aku terjatuh. Aku tahu lebih baik aku menjatuhkan diri daripada tetap berdiri dan dipukul lagi. Kalau aku tetap berdiri, Ibu akan menganggap itu sebagai sikap membantah, dan itu artinya beberapa pukulan lagi atau yang paling kutakutkan, tidak di beri makan. Baru kemudian aku berdiri pelan-pelan sambil memiringkan mukaku agar tidak menatapnya, sementara ibu berteriak di telingaku.
Aku menunjukan sikap ke takutan, sambil terus-menerung mangangguk seakan memahami arti ancaman-ancaman yang keluar dari mulutnya. "Ya, ya," kataku dalam hati," asalkan aku boleh makan. Pukul aku lagi, asalkan aku dapat makanan karena ku harus makan." " Satu pukulan lagi meyentakan kepalaku hingga membentur pinggiran dinding. aku meneteskan airmata sebagai tanda tak tahan menerima cemoohan ibu. Ibu lalu keluar dari dapur, tampaknya ia puas akan perlakuannya terhadapku. Aku menghitung langkah-langkahnya untuk memastikan bahwa ia benar-benar jauh dari dapur, dan akupun menarik napas lega. Sandiwaraku berhasil. Ibu memukuliku sesuka hatinya, tapi aku tak membiarkannya mengalahkan tekadku untuk bertahan hidup.
Kuselesaikan mencuci peralatan makan, yang menjadi salah satu tugasku sehari-hari. Sebagai upahnya, aku mendapatkan srapan yang ada di mangkuk sereal salah satu kakakku. Pagi ini sereal Lucky Charms. Cuma ada sedikit sisa sereal dan susu di mangkuk itu, tapi aku harus cepat-cepat menghabiskannya sebelum ibu berubah pikiran. Itu pernah terjadi. Ibu senang sekali menggunakan makanan sebagai senjata. Dia senang cepat-cepat membuang sisa makanan ke keranjang sampah, sebab dia tahu kalau aku akan mengais-ngaisnya untuk di makan. Ibu tahu hampir semua siasatku.
Tak lama kemudia aku sudah berada di dalam station wagon tua kami. Karena banyak sekali tugas rumah yang harus kuselesaikan, aku jadi terburu-buru berangkat sekolah. biasanya aku lari ke sekolah, dan sampai di sana persis pelajaran di mulai sehingga aku tak sempat mencuri bekal makan siang anak-anak lain.
Sampai di depan sekolah, Ibu membiarkan kakak sulungku langsung masuk ke sekolah, tapi aku ditahannya dulu unyuk mendengarkan rencananya besok. Dia mau mengirim aku ke rumah kakaknya. Dia bilang Paman Dan akan "mengasuhku". Itu ancaman, jadi aku pura-pura takut. Aku tahu betul pamanku tidak akan memperlakukan aku seperti ibu memperlakukan aku, meskipun pamanku itu memang galak.
Station Wargon belum betul-betul berhenti tapi aku sudah menghambur keluar. Ibu berteriak, memenggilku kembali. Aku lupa memebawa kotak kusam tempat bekal makan siangku, yang menunya sudah 3 tahun itu-itu juga- dua tangkup roti isi selai kacang ditambah beberapa potong wortel. Aku ingin langsung berlari lagi, tapi ibu berkata, "bilang pada mereka... bilang pada mereka kalau kau terantuk pintu". Lalu ia mengatakan suatu yang amat jarang ia katakan "semoga harimu menyenangkan". Kulihat kedua matanya yang merah. Ia masih agak mabuk, sisa semalam. Dulu matanya bagus, rambutnya sekarang acak-acakan tak terurus. Ia tidak memakai rias wajah, seperti biasanya. Ia tahu ia gemuk. Ya, begitulah penampilan ibu.
Karena terlambat banyak, aku harus melapor keruang tata usaha.